Titik Sendu Perjuangan

PENYUSUN

Angela Yolanda

UNIVERSITAS

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Dhira menghela napas, Ia kelelahan bolak-balik dapur dan ke depan untuk mengantarkan pesanan. 

“Hari ini cafe benar-benar ramai.” Keluhnya dalam hati sambil berjalan untuk mengantarkan pesanan pelanggan.

“Ini ya mbak pesanannya, 1 Rice Bowl Chicken Spicy dengan Lemon Tea.” Di balik rasa lelahnya, Ia tetap tidak lupa memberi senyuman pada pelanggan.

Dhira adalah gadis yang ramah, Ia melayani pelanggan dengan baik. Keramahan dan kerja kerasnya membuat Ia disukai banyak orang. Tidak heran jika Ia cepat beradaptasi di lingkungan baru tempat Ia bekerja. 

Gadis berambut panjang terikat satu yang memakai topi dengan tulisan Cafe Antaria dan mengenakan seragam kerjanya berwarna sage green itu bernama lengkap Andhira Anastasia. Ia seorang mahasiswa semester 5 yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi. Sudah satu tahun Ia bekerja di cafe sambil berkuliah. Kondisi keuangan keluarga yang membuatnya harus bekerja, tetapi dengan senang hati Ia melakukan hal itu karena Ia suka bekerja.

Sepulang dari bekerja, Dhira langsung pergi ke kampus. Hari ini adalah hari yang melelahkan bagi

Dhira. Namun, semangatnya tetap membara untuk mencari ilmu. Di balik kesibukannya bekerja, Dhira tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Ia salah satu mahasiswa berprestasi di kampus dan berhasil mendapatkan beasiswa full. 

Dhira adalah anak sulung dari dua bersaudara. Ia tinggal bersama ibu dan adik perempuannya di rumah kecil peninggalan ayahnya yang berada di tengah kota. Ayahnya telah lama meninggal sejak Dhira dan adiknya masih kecil karena serangan jantung. Sejak saat itu, ibunya lah yang membanting tulang untuk menafkahi Dhira dan adiknya. Bagi kedua kakak beradik itu, ibu adalah segala-galanya.

Ibu bisa menjadi sosok ayah dan sahabat bagi mereka. Hanya saja 1 tahun yang lalu ibu mereka mengalami kecelakaan dan sekarang lumpuh. Sekarang ibu hanya bisa duduk di kursi roda saja. Hal ini membuatnya sulit untuk kembali bekerja. Dari situ lah Dhira memutuskan untuk bekerja, mereka hidup dari sisa tabungan dan penghasilan Dhira. Adiknya baru duduk di bangku SMA, namanya Ambarani Anastasia. Baru saja ia berhasil meraih juara olimpiade. 

Malam itu,mereka berkumpul di meja makan untuk makan malam. Pada saat itu, Ambar memberitahukan pencapaiannya itu kepada Ibu dan kakaknya.

“Ibu, kakak…Ambar menang olimpiade matematika tingkat kabupaten loh…” Dengan antusias, Ambar meberitahu Ibu dan kakaknya.

“Wah, serius dek? Kamu hebat banget…”

“Iya kak, terus nanti aku akan diikutsertakan dalam olimpiade tingkat provinsi. Doain ya semoga Ambar berhasil.”

“Pasti lah dek, kakak bangga sama kamu, selamat ya.”

“Makasih kak…”

“Selamat ya nak…Ibu pasti akan selalu mendoakan kalian yang terbaik. Ibu bangga punya anak-anak seperti kalian.”

Dhira dan Ambar beranjak dari kursi dan memeluk ibu mereka. Adik dan kakak itu saling menyanyangi satu sama lain.

1 bulan kemudian, ada berita yang menghebohkan jagat raya bahwa akan ada virus yang berbahaya dan mewabah di negeri ini. Kabarnya virus itu sudah mulai masuk ke Indonesia. Virus itu menyebar dengan sangat cepat, menjangkiti orang, dan memakan banyak korban. Suasana kacau saat itu, banyak orang yang berbondong-bondong untuk membeli barang kebutuhan karena ada kabar bahwa akan ada Lockdown. Tidak tahu sampai kapan hal ini akan terjadi, tetapi ini benar-benar membuat keluarga Dhira kesulitan. Satu-persatu tempat usaha tutup, hari ini giliran cafe tempat Dhira bekerja. Sudah ada himbauan dari pemerintah agar masyarakat tetap berada dirumah, hal ini berguna untuk memutus rantai penyebaran virus. Beberapa hari belakangan ini cafe tempat Dhira bekerja sepi. Pemilik Cafe Antaria itu memutuskan untuk menutup usaha cafenya.

Situasi ini membuat Dhira benar-benar sedih. Jika Ia tidak bekerja, dari mana uang yang akan Ia dapat. Uang tabungan juga sudah mulai menipis. Ia hanya memikirkan bagaimana perawatan ibunya tetap bisa berjalan. Kampus tempat Dhira berkuliah mulai diliburkan begitupun tempat Ambar bersekolah. Sampai satu minggu berlalu, mereka menjalani semua aktivitas dari rumah. Semua orang memakai masker dan berjaga jarak. Situasi yang benar-benar berubah drastis. 

Siang itu langit mendung, matahari yang tadinya menyengat kini tertutup awan, tanda hujan akan datang. Di depan kamar Dhira, ibunya melihat Ia sedang membaca buku kemudian menghampirinya. Tok..tok..tok (Ibu mengetok pintu kamar Dhira)

“Ibu…masuk bu.”

“Lagi apa nak, ibu ganggu ngak? Ibu menghampiri Dhira dan mengelus kepalanya.

“Ngak lah bu, ini lagi baca-baca aja, sini bu duduk.”

“Kamu ngak ada kuliah hari ini nak?”

“Hari ini Dhira ngak ada jadwal kuliah bu, 

“Ibu mau ucapin terima kasih sama kamu nak.”

“Terima kasih untuk apa bu? Dhira ngak ngelakuin apa-apa.”

“Terima kasih untuk segalanya, terima kasih sudah jadi anak ibu, terima kasih kamu dan Ambar sudah jadi penguat Ibu, dan satu hal lagi nak terima kasih sudah menjadi tulang punggung keluarga ini. Ibu beruntung punya kamu sama Ambar. Maafkan ibu ya, kalau ibu sering nyusahin kamu sama adikmu.”

“Ibu ngomong apa sih,bu…itu sudah kewajiban Dhira sebagai seorang anak, ibu ngak perlu mikir yang macam-macam ya. Satu hal yang paling penting sekarang adalah kebahagiaan ibu dan kesehatan ibu.”

Anak dan ibu itu berpelukan satu sama lain. Ada kerinduan mendalam dalam benak sang ibu kepada anaknya. Ini adalah momen berharga dan paling penting bagi ibu dan anak itu. Komunikasi yang hangat anatara kedua belah pihak.

“Oh iya, ini tanggal berapa ya bu?

“Tanggal 16 nak.”

“Astaga bu, minggu ini kan ibu harus terapi…Dhira lupa lagi bu”

“Ibu ngak lupa sama terapi ibu. Kamu ngak usah khawatirin ibu ya, sekarang kamu fokus saja sama kuliah mu biar cepat lulus. Sekarang kita kan ngak ada pemasukan, jadi kita harus bisa berhemat.”

“Tapi bu…terapi ibu ngak bisa kita tunda, besok kita ke rumah sakit ya bu seperti biasa, biar aku yang urus.”

“Udah ibu bilang ,ibu ngak apa…di situasi sekarang ini kita ngak boleh keluar nak,bahaya”

“Tapi kalau urusan nya urgent, kita diperbolehkan keluar kok bu.”

Siang itu ada perdebatan kecil antara Dhira dan ibunya. Ibunya tetap keras kepala tidak mau menjalankan terapi dan Dhira pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hari-hari dilalui Dhira dengan penuh kegelisahan. Tidak ada tanda-tanda virus ini akan selesai, justru Dhira melihat berita bahwa virus ini semakin parah. Sekarang Dhira tidak memiliki pekerjaan, uang tabungan semakin menipis. Bagaimanpun caranya berhemat, uang akan terus terpakai seiring berjalannya hari. Ia semakin khawatir karena ibunya tidak mau menjalankan terapi lagi. Hari-hari yang dilalui Dhira semakin hari semakin berat. Ia harus tetap kuat demi ibu dan adiknya.

Dhira mulai mencari cara untuk mendapat penghasilan dari rumah. Ia mencoba membuka usaha masakan rumahan kecil-kecilan. Dhira memposting foto masakannya pada media sosial miliknya. Orderan akan dikirim via ojek online. Dengan dibantu oleh Ibu dan adiknya, usaha itu berjalan. Dhira jago memasak, bakat ini diwarisi oleh ibunya. Ada beberapa orang yang memesan masakan Dhira, mulai dari tetangga sampai orang luar. Memang tidak banyak yang memesan,tapi satu orderan saja sudah membuat mereka senang. Daripada tidak ada pemasukan sama sekali, Dhira tetap mempertahankan bisnisnya ini. Walaupun kadang ada hari di mana Ia tidak menerima pesanan sama sekali. Namun, Dhira pantang menyerah, Ia terus bertekad dan berupaya.

Hari ini Dhira kembali membujuk ibunya untuk melakukan terapi. Kali ini Ia dibantu oleh Ambar.

Awalnya mereka duduk di ruang tamu dan berbincang.

“Bu…ibu terapi ya bu,udah lama loh ibu ngak terapi.”

“Iya bu, nanti biar Ambar sama kak Dhira temanin ya”

“Kalian ini, ibu sudah bilang kan ibu itu baik-baik saja, kalian ngak perlu khawatirin ibu. Lihat, ibu kalian ini sehat nak, hanya ngak bisa jalan saja”

“Tapi terapi itu penting buat ibu, Dhira mohon sama ibu ya. Ibu sayang Dhira sama Ambar kan bu?

“Ngomong apa kamu ini Dhir…orang tua mana yang ngak sayang sama anaknya…ibu itu sayang sama kalian Dhira, Ambar.”

“Kalau gitu ibu terapi ya bu, soal biaya ibu ngak perlu pikirin, biar Dhira yang urus. Dhira masih punya tabungan kok untuk biaya hidup kita.”

“Iya, ibu ngak perlu pikirkan apa-apa, yang terpenting ibu sehat.”

Ibu menyetujui perkataan Dhira dan Ambar. Kedua kakak beradik itu memeluk ibu mereka. Dhira meneteskan air mata di pelukan ibunya.  Hatinya sakit, ada rasa yang tidak bisa diutarakan olehnya.

Semua berjalan dengan lancar hari ini, terapi telah selesai dan mereka baru tiba di rumah. Baru saja duduk, ada pesan yang masuk di handphone Dhira. Ada orang yang memesan banyak sekali makanan hari ini.

“Ibu, Ambar…ada yang pesan makanan banyak banget.”

“Oh iya kak?”

“Nih kamu lihat…”

“Ya udah, kita langsung ke dapur aja, biar ibu bantuin kalian”

“Eitsss ibu…” Dhira dan Ambar serempak mencegah ibunya untuk membantu mereka.

“Ibu mau kemana, udah ibu istirahat aja ya, biar Dhira sama Ambar aja yang masak.”

“Iya bu, sini biar Ambar anterin ibu ke kamar, ibu istirahat ya.”

Hari itu adalah hari yang menyenangkan bagi mereka. Dhira berpikir ini adalah awal yang baru dari bisnis masakan mereka.

2 minggu telah berlalu dengan cepat. Beberapa hari ini ibu demam tinggi. Dhira dan Ambar khawatir karena sejak kemarin mereka sudah mengompres dan memberi obat pada ibu mereka, tetapi panas tidak turun juga. Hari ini mereka memutuskan untuk membawa ibu ke dokter agar diperiksa. Perkataan dokter mengejutkan mereka. Ibu Dhira dan Ambar terjangkit virus dan harus segera di isolasi. Dhira dan Ambar juga harus menjalani karantina di rumah.

Kondisi ini membuat Dhira semakin stress, Ia benar-benar khawatir akan kesehatan ibunya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi pikirnya, padahal sebelumnya semua baik-baik saja. Tidak ada yang menjadi baik sejak hari itu. Dhira menerima telepon dari pihak rumah sakit. Kabar buruk datang kembali 3 hari setelah ibu mereka di rawat. Ibu Dhira dan Ambar, orang tua mereka satu-satunya yang masih ada saat ini. Ibu yang sangat mereka cintai menghembuskan napas terakhirnya. Ya, Ibu Dhira dan Ambar dinyatakan meninggal dunia.

“Ambar…Ambar…” Dhira berlari dan berteriak menghampiri adiknya di kamar.

“Ada apa kak, kenapa kakak nangis? Kebingungan dan ketakutan menghampiri wajah anak itu, dengan perasaan yang ikut gelisah, Ia sambil mengguncangkan tubuh kakaknya.

“Ibu, Ambar, ibu udah ngak ada…” Dengan tubuh lemas Dhira terduduk di lantai, Ia menangis sejadijadinya. 

Mendengar perkataan Dhira itu tangisan Ambar pecah. Rumah itu mendadak menjadi sendu dipenuhi duka yang mendalam. Kedua anak perempuan itu saling berpelukan dan menangis. Sejak hari itu, rumah menjadi sepi, tidak ada lagi kebahagiaan, ada sesuatu yang hilang dari rumah itu dan dari diri Dhira. Mereka hanya bisa menguatkan satu sama lain. Orang yang mereka cintai telah pergi dari hidup mereka dan sekarang waktunya mereka berjuang sendiri demi hidup.

Kala itu Dhira duduk sambil memegang foto ibunya, sambil menangis tersedu-sedu Ia berbicara.

“Sudah seminggu Ibu tinggalin Dhira sama Ambar. Kami kangen sama Ibu. Dhira kangen masak bareng Ibu, Ambar juga kangen cerita-cerita lagi sama Ibu. Kenapa ibu tega tinggalin kami bu. Dhira belum bisa bahagiin Ibu. Dhira minta maaf ya sama Ibu. Bentar lagi Dhira lulus bu, harusnya Ibu nanti ada di acara wisuda Dhira, terus Ibu senang bisa lihat Dhira jadi lulusan terbaik. Ibu selalu bilang sama Dhira, kalau orang yang sabar akan meraih buah kesabarannya,yaitu kesusksesan. Dhira ngak akan pernah lupa sama kata-kata Ibu”

Ambar melihat kakaknya dari balik pintu, Ia menangis dan kemudian bergegas masuk untuk memeluk kakaknya itu. Ia mengerti dan bisa merasakan rasa sakit yang kakaknya rasa sebab Ambar pun merasakan rasa sakit yang sama. 

THE END

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *