PENYUSUN
Dilawati
UNIVERSITAS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Di sudut ruang dengan luas tak lebih dari lima meter persegi, gadis dengan rambut dikuncir sedang melatih beberapa anak ditambah alunan musik khas Melayu seirama dengan nama tariannya “Tandak Sambas”. Lampu cukup terang menerangi ruangan yang diisi oleh beberapa anak dengan bakat luar biasa yang mereka miliki. Anak-anak itu akan menampilkan sebuah tarian di sekolah mereka. Bagi Sang gadis cantik ini, mengajar menari merupakan satu diantara upaya untuk melestarikan budaya daerah. Sebuah kebanggaan baginya jikalau anak-anak yang berlatih bersamanya itu dapat meraih sekiranya dua atau tiga kemenangan pada tingkat nasional seperti tahun lalu. Disamping kesibukannya mengawasi, dia juga berlatih untuk dirinya sendiri. Berlatih hingga larut malam, untuk sebuah penampilan yang akan ia bawakan pekan depan di depan kantor gubernur. Melenggak-lenggok Sang kembang desa. Tatkala musik diputar, bagai kapal yang berlabuh, tubuh Ayu seakan bergerak spontan. Merampungkan beberapa gerakan yang sekiranya tak memuaskan karena kegalauan yang ia rasakan telah mengganggu fokusnya.
Ayu tersentak ketika melihat arlojinya telah menunjukkan pukul 18.00 WIB yang mengisyaratkan bahwa bumi meredup karena Sang surya berpulang untuk kembali lagi esok. Sebaya dengan yang lain, 20 tahun mungkin ia sudah dibesarkan oleh Ayahandanya. Ayu, gadis cantik anak semata wayang kebanggaan bagi ayahnya. Seorang piatu yang dengan tegarnya menghadapi segala tentangan dari ayahnya tentang masa depannya sendiri. Berkulit putih bersih dengan senyum manis dan lesung pipi. Guru tari yang penyabar, ramah dan periang. Namun riang yang selama ini, ia pertahankan perlahan memudar. Saat ia terus dituntut untuk menikah dengan seorang yang bahkan tak ia sukai. Boro-boro suka, ketemu saja tidak pernah selama ini. Supardi bukan tipe ayah idaman, menurut isi hati dan pikiran yang sedang berkecimpung di kepala gadis yang mengenakan ikat hitam bercorak insang.
Tiba-tiba Ayu mendelik dengan tajam ke arah ayahnya sambil mengucapkan kalimat, “Ayah,
Ayu belum mau menikah. Apakah tidak bisa dibatalkan saja, Ayah?”
Ayahnya menjawab dengan nada sedikit marah, “Ayu, menunda adalah pilihan lainnya ketimbang membatalkan.”
Bujukan yang dilakukan Ayu setiap harinya. Bagaimana gadis itu terus berusaha mengubah jalan pikiran dan membuka pintu hati ayahnya yang bisa dibilang tertutup sangat rapat hingga tak bercelah.
Melirik arloji yang menunjukkan sudut 180° itu. Andai saja kehidupannya bisa berubah 180° sekarang. Bahkan 90° sudah bersyukur sekali. Terlalu sering menghela napas lelah membuat dirinya terlihat lemah. Ayu baru ingat petitah tuah ayahnya yang mewajibkan untuk melepas arloji antik peninggalan kakeknya. Jalanan pulang yang ia lewati sedikit berlubang mengharuskan untuk berhati-hati. Ayu berjalan sambil berpikir dan menimbang, bagaimana ia bisa menikah dengan orang yang sama sekali tak pernah berjumpa. Bagaimana hidupnya nanti?
“Andai aku bisa menggapai rembulan, akan kutinggalkan bumi dengan banyak kegilaan hingga hawa mencekam ini.” Beribu pertanyaan berkecamuk di kepala Ayu.
Lingkaran penuh memancarkan cahaya indah dibalik dedaunan pepohonan rindang tepian jalan. Seharusnya akan lebih indah daripada lampu jalan. Surai hitam berkilau, menyelipkan rambut berponi panjang yang terus menghalangi pandangan, Ayu terhenti di pertigaan jalan. Seekor kucing hitam masuk ke semak-semak membuatnya agak terkaget.
Kini tak disangka janji Supardi untuk pergi membelikan Ayu pakaian tari yang baru ternyata ia dustakan. Bukan tanpa sebab namun sekarang harus pakai syarat. Karena sudah ada cukup banyak tamu yang datang, hanya saja kursi yang seharusnya diisi oleh ‘pria tampan’ konon katanya masih kosong juga. Ayu tak begitu memikirkan harus melakukan apa. Tak kunjung membalas senyuman calon mertuanya, Ayu masuk tanpa permisi.
“Dasar tidak tahu sopan santun! Ayah telah memilihkan yang terbaik untukmu tapi engkau tidak pernah melakukan yang terbaik untuk Ayah!”, Bentak Sang ayah kepada putri
tunggalnya.
“Apa hal yang tak membanggakan pernah aku lakukan padamu, Ayah? Apa aku menjadi seorang anak penentang dengan segala aturan hidup yang ayah timpakan padaku? Mengapa ayah sekejam itu?”, Balas Ayu dengan ketus sambil berusaha menegarkan hati untuk tak menangis, walau ia tahu ia tetap akan kalah nantinya. Ayahnya mendelik tajam dan dingin.
Selama ini ia menuruti semua yang ayahnya katakan.
“Ayah telah membesarkanmu dengan susah payah, Ayah tidak ingin kamu hidup susah!”, Kata ayah Ayu.
“Apa ayah yakin aku akan bahagia bersama pilihan ayah?”
“Apa kau yakin akan hidup sejahtera dengan pilihanmu sendiri? Hah?!”, Ucap Sang ayah dengan mata memerah menahan amarah.
Kini Ayu benar-benar menangis, ia lelah berdebat dengan ayahnya dan ditonton oleh banyak orang. Ia tidak suka dipaksa, namun ia juga harus tetap berbakti kepada orang tuanya.
Tak lama semua pandangan mengarah ke ambang pintu ketika seseorang mengetuk sopan. Namun Keheningan sekejap silih berganti ketika Ayu hendak melanjutkan langkah
yang tertunda tadi.
“Kembali dan minta maaflah pada calon mertuamu.” Ucap ayah kepada Ayu dengan nada lirih mencoba meredam kemarahannya.
Wanita dengan senyum yang senantiasa terpatri diwajahnya itu seperti menunjukkan bahwa ia tak mempermasalahkan sikap Ayu tadi. Maklum, siapa yang mau jika dipaksa. Tapi disatu sisi wanita ini sangat ingin anaknya bersanding dengan Ayu. Daniel, pria mapan nan tampan pujaan banyak wanita. Kecuali bagi Ayu yang sudah muak dengan lelaki satu ini. Lagi syoknya ia ketika mengetahui siapa lelaki yang selama ini terus disanjung oleh ayahnya. Dia
adalah lelaki yang membuli Ayu sewaktu SMA. Menyisakan kenangan pahit baginya. Semasa itu ia begitu tau apa yang sering dilakukan oleh Daniel yang sekarang nampak menunjukkan tampang tak punya dosa.
“Ah, tidak masalah Pak. Saya sudah maklum. Alangkah baiknya jika kita lanjutkan saja.”
Dengan kemurahan hati Ibu Daniel, kini ayah Ayu mempersilahkan calon menantunya untuk duduk. Daniel, sama seperti Ayu. Bedanya, ia tak punya ayah. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Sedangkan Ibu Ayu meninggal karena sakit. Daniel mengulurkan tangannya untuk bersalaman karena kode-kode dari ibunya. Beberapa saat hingga tangan Daniel terasa kebas karena Ayu tak kunjung menerima perkenalan itu. Daniel yang menurunkan tangan membuat ayah Ayu tambah kecewa dengan tingkah putrinya.
“Ayu!” Ucap ayah dengan nada pelan tapi tegas.
“Ayah! Ayu tidak mau nikah!” Balas Ayu dengan nada yang pelan.
“DASAR KAU!!” (Ayah membentak Ayu tanpa disadarinya).
“Pukul, Ayah! Pukul saja Ayu. Ayu benci Ayah!” (Teriak Ayu sambil menangis).
Tangan Supardi terhenti. Untuk pertama kali anaknya melontarkan perkataan semacam itu dari mulut didikan Supardi selama ini. Unek-unek yang selama ini Ayu pendam akhirnya
keluar hari ini. Ia benar-benar lelah dengan hidupnya.
“Pergi engkau dari hadapanku.”
Dengan sikap dingin menatap putrinya. Semua tamu di sana membelalakkan mata mendengar Supardi mengusir anaknya. Ayu sudah sesenggukan tak ingin memohon-mohon lagi. Ia bersumpah akan mengubah nasibnya mulai saat ini.
“Aku bilang pergi!”, Bentak ayah ke Ayu dengan nada yang kasar.
Ayu membuang muka dan pergi dari sana. Daniel mengejar Ayu yang pergi meninggalkan rumah. Lelaki itu kini sadar dengan kesalahannya dahulu. Mungkin dengan meminta maaf akan mengurangi sedikit rasa dongkol dihati Ayu yang dulu sering ia ganggu.
“Ini sudah malam, mau kemana? Ujung dunia itu tidak pernah ada.”
Berteriak memanggil Ayu yang persetan dengan segala teriakan Daniel yang
memerintahkannya untuk berhenti. Tidak berlari lagi tapi Ayu melangkahkan kakinya begitu cepat meninggalkan Daniel. Baru saja Daniel ingin mempercepat langkahnya ketika Ayu menyeberang,
Ckik …Brukk ….!!!
Suasana langit nampak suram. Tak seburuk malam mengenaskan itu. Ayu tak begitu ingat bagaimana ia dibawa oleh Daniel kala itu. Ia hanya merasakan lehernya basah oleh darah yang keluar dari mulut. Setelah gadis itu menari sendiri di kamar ayahnya, ia pergi. Karena biasanya Ayu menunjukkan tariannya pada Supardi sebelum pergi mementaskan tarian. Ia
begitu mencintai tariannya.
Tak begitu banyak hal mengesankan yang Ayah lakukan untukmu. Aku bukan ayah yang baik, dan sekarang aku berusaha menjadi ayah yang terbaik dikesempatan terakhir. Ayah sangat menyayangi mu, Nak. Maafkan Ayah, Ayah tidak ingin kau pergi. Ayah ingin kau menikah dengan orang yang engkau cintai sekarang. Berbahagialah, maafkan jika ayah tidak dapat melihat kebahagiaanmu.
Menitik air mata di tanah kuburan baru yang sudah ditaburi dengan harumnya bunga. Ya, di sini Ayu berada. Posisinya tergantikan oleh ayahnya, Ayu melihat dengan mata ayahnya sekarang. Bahkan ayahnya mendonorkan kedua ginjal untuk Ayu, gadis itu selama ini menyembunyikan rasa sakitnya yang membuat hati Supardi tersayat. Sebegitu kejamnya ia hingga anaknya tak pernah bicara padanya tentang itu. Tapi Ayu kini sadar, begitu ayahnya menyayanginya dan berkorban untuknya. Surat yang ditulis ayahnya sebelum melakukan operasi untuknya, Ayu hanya bisa memeluk nisan sekarang. Berulang kali kata maaf terucap dari mulutnya yang waktu itu menentang ucapan Supardi. Kasih orang tua tiada duanya, bahkan jika orang tua itu terlihat sangat jahat pada anaknya. Apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik, Ayu berjanji untuk terus bahagia. Ia tidak ingin mengecewakan ayahnya lagi. Ia
akan terus menari mencari kebahagiannya. Ayu akan membanggakan ayahnya dengan segudang prestasi yang ia raih. Begitulah Ayu yang begitu mencintai ayah dan kebudayaannya.
“Ayo pulang”, Ajak Daniel yang sedari tadi setia menunggu Ayu, menemani kesedihan calon istrinya itu. Ayu sadar, pilihan ayahnya adalah pilihan yang terbaik. Hidupnya berubah 180° sekarang, ia bingung harus mengatakan itu sebagai perubahan ke arah yang lebih baik atau sebaliknya. Tapi Ayu akan tetap melanjutkan hidupnya membuat hidupnya lebih baik. Lelaki itu kini tersenyum tulus, mengajak Ayu untuk menyudahi penyesalannya dan bangkit untuk memulai hidup baru.