STRATEGI MENINGKATKAN LITERASI KEUANGAN SYARIAH MELALUI PERPADUAN SOSIALISASI PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOKULTURAL DAN ENTREPRENEURSHIP SKILL TERINTEGRASI BANK SANTRI

PENYUSUN

Zeal Latu Landang

UNIVERSITAS

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Latar belakang

Kontribusi peran pendidikan terhadap dampak ekonomi sebuah negara telah terbukti dan diakui bersama(Subroto, 2014). Pendidikan merupakan salah satu cara membangun peradaban dan harus dipandang sebagai sebuah investasi yang akan berkontribusi untuk jangka panjang. Cara pandang ini perlu diterapkan juga sebagai katalisator  dalam meningkatkan literasi keuangan syariah di indonesia. Walaupun indonesia memiliki ekosistem syariah yang subur, total asset perbankan umum syariah mencapai  Rp610.4 triliun (Otoritas Jasa Keuangan, 2022) . Angka tersebut merupakan angka yang kecil apabila dibandingkan dengan total asset perbankan nasional secara umum yang menembus angka Rp10.180 triliun (Otoritas Jasa Keuangan, 2022). BSI, salah satu bank umum syariah di indonesia hingga saat ini memiliki 17 juta nasabah. Angka tersebut juga dapat dipahami seperti hanya 1 dari 16 orang saja di indonesia yang menggunakan bank umum syariah. Dengan respon bank syariah yang relatif kecil maka implikasi bagi bank syariah adalah minimnya dukungan pada aktivitas funding, lending, dan fee-based activities. Sedangkan di Indonesia tercatat ada pondok pesantren yang seharusnya mampu digunakan sebagai booster literasi keuangan syariah. Lalu apabila melihat masyarakat muslim indonesia dari segi psikografis dan behavior-nya sangat beragam (Jati, 2013). Proses pemahaman ajaran islam yang parsial dan terkotakkotak sudah melahirkan halangan yang signifikan pada proses penerimaan sistem dan penggunaan produk syariah. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu cara komunikasi yang saling terintegrasi dan fleksibel untuk menjadi tulang punggung dalam meningkatan literasi keuangan syariah.

Pembahasan

Dengan berdasar permasalahan yang telah disebutkan diatas, penulis memiliki gagasan dalam meningkatkan literasi keuangan syariah melalui perpaduan sosialisasi pembelajaran berbasis sosiokultural dan entrepreneurship skill terintegrasi bank santri. 

Teori sociokultural dipilih sebagai pendekatan pembelajaran karena sesuai dengan karakter santri di indonesia.. Teori sociokultural merupakan teori yang muncul pada ilmu psikologi yang melihat bahwa sebuah komunitas social atau lingkungan masyarakat memiliki peranan signifikan dalam suatu perkembangan individu(Van Compernolle, 2021). Teori ini mampu digunakan dalam proses pembelajaran dan proses sosialisasi, terutama pada upaya peningkatan literasi keuangan syariah. Teori sosiokultural tidak hanya menitik-beratkan pada bagaimana orang dewasa dan teman sebaya memengaruhi proses perkembangan individu, tetapi juga pada bagaimana adat, budaya, kepercayaan dan tata karma memengaruhi bagaimana pembelajaran terjadi. Teori ini kemudian sesuai dengan karakter lingkungan masyarakat muslim di indonesia apabila digunakan untuk mensosialisasikan program literasi keuangan syariah di lingkungan pesantren.

Sedangkan bank santri merupakan bank labotarium syariah yang akitivitasnya sebagai wadah pembelajaran keuangan syariah bagi para santri di lingkungan pesantren. Keberadaan bank santri tidak hanya digunakan sebagai ikon simbolik bank syariah di lingkungan pesantren, tetapi juga sebagai pelengkap pembelajaran keuangan syariah. Layanan jasa keuangan bank santri tentu akan menyesuaikan dengan kebutuhan santri itu sendiri. Layanan jasa keuangan syariah yang memungkinkan adalah tabungan mudharabah santri dan pembiayaan murabahah. Selain program literasi keuangan syariah, saat ini telah banyak pesantren yang memasukkan program pelatihan skill kewirausahaan ke kurikulum pesantrennya. Namun pelatihan skill kewirausahaan tersebut akan tidak optimal apabila tidak dilengkapi dengan praktik lapangan dengan menggunakan pembiayaan syariah yang telah diterima sebelumnya. Perpaduan bank santri dengan entrepreneurship skill pada pesantren akan membantu menghadirkan solusi pembiayaan syariah / syariah financing pada santri dalam berwirausaha. Oleh sebab itu gagasan tentang perpaduan bank santri dan pelatihan kemampuan kewirausahaan inilah yang menjadi poin utama.

Setelah memilih teori sociokultural sebagai dasar pendekatan sosialisasi, maka dibutuhkan strategi sosialisasi nyata terkait peningkatan literasi keuangan syariah. Mengacu karakter muslim indonesia, maka dibutuhkan 5 langkah proses dalam strategi sosialisasi. Masyarakat muslim indonesia memiliki karakter untuk menunggu fatwa dari para ulama, kiai atau ustadz dalam kegiatan beragama. Tahapan pertama ialah melalui pintu ulama atau kiai. Hal ini akan lebih efektif apabila mampu masuk hingga kepengurusan organisasi muslim dari pusat hingga cabang atau ranting. Jika para kiai dan ulama telah afirmatif oleh gagasan bank santri syariah sebagai wadah pembelajaran santri,  maka dapat dipastikan sosialisasi menuju masyarakat akar rumput akan mudah diterima. Upaya peningkatan literasi keuangan syariah adalah satu contoh nyata yang perlu pengarahan dan penyelarasan sejak hulu hingga ke hilir terutama perihal bank syariah. 

Secara umum, pencantuman label syariah pada suatu institusi atau lembaga membawa konsekuensi yang sangat berat. Tingginya harapan masyarakat  terhadapa lembaga berlabel syariah mengharuskan perbankan syariah harus mampu tampil sempurna. Namun sebagian masyarakat masih menganggap bahwa terdapat produk perbankan syariah merupakan bentuk rekayasa hukum untuk mencari keabsahan system bunga. Hal ini tak terlepas dari terdapatnya bank konvensional yang membuka UUS (Unit Usaha Syariah) seperti pada BTN Syariah dan BCA Syariah. Langkah kedua yang diambil adalah mengagendakan diskusi umum dengan para ulama, kiai dan ustadz seperti pada musyawarah nasional, muktamar, halaqah-halaqah, hingga pengajian keagamaan baik di tingkat pusat hingga daerah. Wadah seperti ini perlu diagendakan karena mampu menjadi ajang elaborasi dan klarifikasi hukum dalam masalah perbankan syariah yang masih dipandang bermasalah oleh para ulama dan mampu menyelesaikan ajang debat kusir yang selama ini sering terjadi diantara masyarakat.

Dalam menyampaikan gagasan bank syariah harus berhati-hati ketika menyimpulkan permasalahan hukum dengan meminimalisir penggunaan dasar hukum al-quran dan hadist. Maka dari itu langkah ketiga yang diambil adalah menyampaikan materi bank syariah menggunakan normatif hukum yang merujuk pada kitab-kitab fiqih daripada menggunakan nash Al-Quran dan Hadist Nabi secara langsung. Apabila sosialisasi langsung menggunakan nash Al-Quran dan Hadist Nabi maka sulit mendapatkan pangsa pasar baru. Cara penyampaian gagasan secara langsung tersebut tentu bertolak belakang dengan ciri khas pola pembelajaran Nahdatul Ulama yang terbiasa menggunakan kitab kuning dan kitabkitab fiqih (Jati, 2013). Maka dari itu, sosialisasi bank syariah harus dilakukan oleh orang yang ahli dalam khazanah islam terutama dalam kitab-kitab fiqih tanpa melulu menggunakan nash al-quran dan hadist nabi. Isu nilai (value) harus lebih ditonjolkan seperti profesionalisme, prinsip keterbukaan dan keadilan daripada isu halal-haram yang selama ini selalu berkembang di masyarakat. 

Sebagai penunjang langkah ketiga, langkah keempat adalah penggunaan kader internal baik dari pesantren maupun dari organisasi islam sebagai pelaksana pembelajaran literasi keuangan syariah. Pemilihan kader internal yang loyalitasnya tidak diragukan lagi terhadap kiai didasari pada kondisi sociokultural masyarakat yang cenderung mudah menerima informasi dari kalangan sendiri terutama dalam urusan yang berkaitan dengan agama atau keyakinan mereka. Apabila pembelajaran melalui kalangan eksternal maka dikhawatirkan terjadi penolakan sosialisasi yang bukan berasal dari value yang dibawa melainkan terhadap orang yang menyampaikannya. Pemilihan kalangan internal mampu memberikan branding terhadap kader pesantren yang “lebih modern” sekaligus menarik atensi masyarakat terhadap bank syariah. Pamor bank syariah tentu akan menignkat secara bertahap seiring dengan berjalannya pembelajaran. Dengan berbekal cap kiai dan kader internal, diharapkan pembelajaran literasi keuangan syariah menjadi lebih efektif dan efisien.

Langkah terakhir dalam meningkatkan literasi keuangan syariah adalah dengan aksi pembelajaran yang berprinsip seprahan (sederhana, praktis, mudah dipahami dan menyenangkan). Kesederhananaan dalam islam erat kaitannya dengan washatiyah. Hakekat harta dalam islam merupakan rezeki titipan dari allah yang sewaktu-waktu bisa diambil dan dilenyapkan. Maka dari itu, penggunaan harta yang sederhana bukan berarti hidup dengan segala kekurangan atau melarat. Dengan prinsip sederhana mampu melindungi diri dari sikap pengambilan keputusan ekonomi yang konsumtif dan berlebihan dalam mencari keuntungan. Prinsip pengambilan keputusan ekonomi yang sederhana yaitu tidak rakus dan tamak dapat menghindarkan kita dari datangnya bencana ekonomi seperti ancaman gulung tikar yang telah berdampak buruk pada umkm pada masa pandemi. Hal ini lah yang perlu dihindari oleh para generasi muda terutama mereka yang terjun ke dunia kewirausahaan.

Prinsip praktis dalam pembelajaran lks merupakan pembelajaran yang bermuara pada praktek bisnis. Integrasi enterpreuner skill dengan syariah financing yang diwakili oleh bank santri di lingkungan pesantren tentu diharapkan menjadi katalisator dalam meningkatkan minat masyarakat terhadap bank syariah. Dengan integrasi enterpreuner skill dan syariah financing dari bank santri mampu membantu santri dalam mengsimulasikan bisnis mereka. Saat ini sudah terdapat banyak pesantren yang menerapkan pelatihan keterampilan. Keterampilan tersebut meliputi bidang agribisnis atau agrikultur, tata boga, kerajinan kayu, hingga pengelasan. Keterampilan tersebut kemudian akan menjadi sia sia apabila tidak dilengkapi dengan pola pelatihan pembiayaan. Namun, kurangnya literasi keuangan syariah para pemilik umkm mengakibatkan banyak dari mereka memilih menjadi nasabah bank konvensional. Maka dari itu, bank santri memiliki posisi strategis dalam meningkatkan literasi keuangan syariah untuk menarik atensi bank syariah pada masyarakat.

Prinsip selanjutnya adalah penekanan pada prinsip pembelajaran yang mudah dipahami dan menyenangkan. Prinsip tersebut memiliki arti yaitu pada pembelajaran lks di kalangan santri, kualitas materi tentu harus disesuaikan dengan kompetensi peserta didik tersebut tanpa menghilangkan segi pembelajaran yang menyenangkan. Pondok pesantren harus didorong untuk memiliki bentuk usaha mandiri seperti warung makan, toko bangunan, usaha laundry pakaian, toko pakaian hingga pemasok kebutuhan pangan. Kepemilikan usaha seperti diatas tidak hanya sebagai sumber pendapatan pesantren, tetapi juga mampu menjadi media simulasi bisnis dengan pembiayaan syariah bagi para santri. Dengan berbagai kemudahan tersebut tentu mampu menjadi gambaran umum dunia wirausaha bagi para santri. Bentuk usaha pesantren yang memudahkan santri seperti ini yang harus digiatkan untuk melahirkan jiwa wirausaha yang bermuara pada tumbuhnya UMKM di indonesia.

Penutup

Memang apabila melihat gagasan yang penulis sumbangkan, strategi tersebut akan dirasa sulit dan akan banyak hambatan. Gagasan ini juga melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, organisasi keagaamaan dan para investor. Mengingat saat ini bank syariah hampir telah kalah pertempuran dengan sebagian umat muslim di indonesia telah menjadi nasabah bank konvensional. Namun, kesulitan dan hambatan tersebut seakan tidak seberapa dengan manfaat yang akan diperoleh. Tingginya animo masyarakat terhadap bank syariah akan mampu menguatkan kemampuan capital dan jaringan layanan perbankan, UMKM yang semakin terjamin keberlangsungannya karena terhindar dari penerimaan resiko satu pihak, hingga perekonomian nasional yang stabil imbas kestabilan bank syariah bertahan dari krisis moneter (Wardayati, 2011). Posisi pesantren yang strategis pada segi keagamaan akan mengubah cara pandang masyarakat umum terhadap bank syariah. Strategi diatas merupakan langkah pertama bank syariah dalam menyambut persaingan dengan bank konvensional di masa depan. Kemudian, bank syariah akan dipandang tak kalah elite dan modern oleh para konsumen bank konvensional. Diharapakan, mobilisasi bank konvensional menuju bank syariah tidak dipandang karena hanya terhindar dari halal-haram saja melainkan karena bank syariah terpercaya dan menentramkan.

Daftar Pustaka

Jati, W. R. (2013). Ulama Dan Pesantren Dalam Dinamika Politik Dan Kultur Nahdlatul Ulama. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 13(1), 95–111. https://doi.org/10.18860/ua.v0i0.2377

Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Statistik Perbankan Syariah, Januari 2022. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents, 5–8.

https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/data-dan-statistik/statistik-perbankansyariah/Documents/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah—Januari-

2022/STATISTIK PERBANKAN SYARIAH – JANUARI 2022.pdf

Subroto, G. (2014). HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN EKONOMI : Perspektif

Teori dan Empiris EDUCATION AND ECONOMICS : Perspectives of Theoretical and Empirical. 20(September), 390–400.

Van Compernolle, R. A. (2021). Sociocultural Theory. The Routledge Handbook of the Psychology of Language Learning and Teaching, 22–35. https://doi.org/10.1177/074193250002100201

Wardayati, S. M. (2011). Implikasi Shariah Governance Terhadap Reputasi Dan

Kepercayaan Bank Syariah. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(1), 1. https://doi.org/10.21580/ws.2011.19.1.210

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *